Suara Ilmuwan dan Kebijakan: Mengapa Masih Ada Kesenjangan?


*Disclaimer: Di tengah situasi yang berat ini, saya menulis bukan untuk menambah beban siapa pun, tetapi untuk memahami pola yang sering membuat peringatan ilmiah terdengar terlambat.

Kita hidup pada masa ketika produksi pengetahuan ilmiah berlangsung lebih cepat daripada kemampuan masyarakat maupun negara untuk menyerapnya. Setiap hari muncul riset baru, bisa tentang kesehatan, teknologi digital, AI, pendidikan, perubahan sosial, hingga dinamika politik. Namun, paradoksnya adalah pengetahuan ilmiah tidak otomatis mengubah kebijakan, perilaku sosial, atau keputusan publik.

Temuan ini sejalan dengan literatur tentang hubungan antara sains dan kebijakan. Meskipun bukti ilmiah dianggap pilar kebijakan rasional, proses politik nyata dibentuk oleh "tawar-menawar", kepentingan aktor, nilai sosial, dan komitmen yang sudah terlanjur mengakar sehingga evidence hanyalah satu dari banyak faktor, sering kali bukan yang dominan (Head, 2010).

Lalu mengapa kondisi ini terjadi di hampir semua bidang?

1. Kebenaran Sosial Masih Lebih Ditentukan oleh Opini daripada Data

Dalam banyak masyarakat, apa yang dianggap “benar” bukanlah apa yang paling didukung oleh data, tetapi apa yang paling selaras dengan identitas kelompok, dekat dengan pengalaman pribadi, diucapkan figur yang dihormati, dan mudah dipahami secara emosional. Fenomena ini disebut epistemic authority bias. Ia menjelaskan mengapa masyarakat kadang lebih percaya ucapan influencer atau tokoh karismatik dibanding kesimpulan sistematis penelitian ilmiah. Riset di bidang komunikasi sains menunjukkan bahwa jurang antara pengetahuan ilmiah dan keyakinan publik sering berasal dari rendahnya epistemic trust atau kepercayaan terhadap institusi dan sumber bukti. Ketika opini memiliki status epistemik lebih tinggi daripada bukti, maka riset ilmiah akan selalu tampak opsional.

2. Sains Berbicara dalam Probabilitas, Publik Menginginkan Kepastian

Sains tidak menawarkan jawaban absolut tapi menghasilkan beberapa hal seperti estimasi risiko, interval kepercayaan, mekanisme kompleks, atau ketidakpastian yang jujur. Tetapi politik dan masyarakat bekerja dengan logika berbeda: mereka menginginkan kepastian. Head (2010) menekankan bahwa ketidakpastian yang melekat pada riset sering dianggap sebagai alasan politis untuk menunda kebijakan. Di saat ilmuwan berkata, “Risikonya akan meningkat jika trend ini terus berlanjut,” mereka sedang menyampaikan peringatan dini berdasarkan data probabilistik. Namun banyak orang awam justru menafsirkan ini sebagai, “Belum pasti, jadi belum perlu bertindak.” Di sinilah terjadi ketidaksinkronan dalam cara memahami informasi yang mana sains bekerja dengan ketidakpastian yang terukur, sementara publik sering menafsirkan ketidakpastian sebagai keraguan atau ketidakpentingan. Akibatnya, bahasa sains dan bahasa publik berjalan di dua jalur yang berbeda.

3. Algoritma Mengutamakan Emosi, Bukan Akurasi

Di era digital, suara ilmuwan sering kalah sebelum dipertarungkan. Media sosial tidak didesain untuk mempromosikan kompleksitas, tetapi untuk memaksimalkan perhatian. Konten yang emosional, polarizing, sederhana, sensasional, akan selalu lebih viral daripada konten berbasis bukti. Simion (2024) dalam Resistance to Evidence menyebut fenomena ini sebagai bentuk epistemic malfunction atau kerusakan cara masyarakat menyaring informasi. Di ruang digital seperti ini, sains tidak hanya dikalahkan, tetapi nyaris tidak terlihat.

4. Overload Informasi Membuat Publik Kelelahan

Kita hidup dalam kondisi yang disebut para peneliti sebagai information fatigue syndrome atau kondisi psikologis saat otak manusia kewalahan memproses banjir informasi. Kelelahan ini menyebabkan penurunan minat membaca, analisis mendalam, kecenderungan memilih informasi cepat, dan resistensi terhadap kompleksitas. Tinjauan sistematis oleh Suazo-Galdames et al. (2025) menemukan bahwa salah satu hambatan terbesar dalam menggunakan bukti dalam kebijakan adalah ketidaksiapan masyarakat dan pembuat keputusan untuk memproses informasi kompleks. Dan dalam keadaan lelah, data dianggap beban, bukan fondasi tindakan.

5. Krisis Kepercayaan terhadap Institusi Merembet ke Sains

Kepercayaan publik terhadap institusi di banyak negara cenderung menurun. Ketika kepercayaan terhadap pemerintah rendah, kepercayaan terhadap lembaga riset, laporan ilmiah, universitas, ahli, juga ikut merosot. Bukti ilmiah kini sering disalahartikan atau ditolak dengan sengaja terutama ketika ia bertentangan dengan narasi ideologis atau kepentingan politik. Ini memperkuat post-truth condition dan kondisi ketika fakta bukan lagi mata uang utama dalam diskusi publik.

6. Knowledge Without Power: Ilmuwan Tidak Mengendalikan Sistem

Inilah inti masalah yang jarang dibicarakan secara gamblang. Kebanyakan ilmuwan tidak mengatur anggaran, tidak menetapkan kebijakan, tidak meloloskan regulasi, tidak memimpin kementerian, tidak memegang kekuatan koersif negara. Wellstead et al. (2018) menyebut kondisi ini sebagai kesenjangan peran yang mana ilmuwan memiliki pengetahuan, tetapi tidak memiliki posisi struktural untuk menggerakkan kebijakan.

7. Konflik Kepentingan Ekonomi Melampaui Evidence

Banyak rekomendasi ilmiah mengandung konsekuensi ekonomi yang tidak ringan. Suazo-Galdames et al. (2025) menunjukkan bahwa resistensi politik dan ekonomi adalah hambatan paling konsisten dalam penerapan bukti ilmiah. Jika sebuah kebijakan berbasis riset berpotensi mengurangi profit kelompok kuat, bukti ilmiah sering diabaikan atau dipinggirkan. Tentunya dalam pertarungan antara evidence dan profit, profit hampir selalu menang.

8. Politik Bergerak dalam Siklus Singkat, Sains Bergerak dalam Horizon Panjang

Politik dan sains bekerja dengan garis waktu yang sangat berbeda. Politisi harus menunjukkan hasil yang terlihat dalam siklus pendek, biasanya 1 hingga 5 tahun. Sebaliknya, ilmuwan mempelajari pola jangka panjang dan membangun model yang memproyeksikan 10, 20, bahkan 50 tahun ke depan. Ketidaksinkronan ritme ini membuat rekomendasi ilmiah sering dianggap “terlalu jauh” atau “terlalu lambat” untuk kebutuhan politik praktis.

9. Risiko yang Tak Terlihat Tidak Dianggap Nyata

Masalah ilmiah (teknologi, kesehatan, pendidikan, ekologi dll) sering bergerak perlahan, tidak kasat mata, dan bersifat kumulatif. Di sisi lain, manusia bereaksi pada ancaman langsung, bukan ancaman abstrak. Literatur public understanding of science menegaskan bahwa masyarakat cenderung meremehkan risiko yang tidak dialami secara langsung, sehingga peringatan ilmiah tidak memicu respons perilaku.

Saya menulis ini bukan semata-mata untuk mengurai teori. Awal mulanya karena ada percakapan kecil dengan suami saya yang terus terngiang ketika kami tidak sengaja menonton sebuah cuplikan video dari seorang peneliti yang berkata kurang lebih begini: “Hal yang paling menyedihkan adalah ketika apa yang kita pelajari, kita teliti dengan hati-hati, dan risiko yang kami takutkan… akhirnya benar-benar terjadi.”

Kalimat itu terasa sangat dekat meskipun bidang saya berbeda. Ada rasa tidak berdaya yang sering dirasakan peneliti yaitu melihat tanda-tanda risiko lebih awal, tetapi tidak mampu menghentikan apa yang akhirnya terjadi. Melihat perkembangan di Indonesia akhir-akhir ini, saya merasa pola-pola yang tadi saya jelaskan muncul dengan jelas. Opini berlari lebih cepat daripada data, emosi mengalahkan akurasi, politik berjalan dalam ritme yang tak cocok dengan riset, lembaga ilmiah tidak selalu dekat dengan pengambil keputusan, dan risiko jangka panjang mudah tersingkir oleh kepentingan jangka pendek.

Banyak tragedi sosial (di Indonesia maupun di negara lain) timbul bukan karena ilmuwan tidak memberi peringatan, tetapi karena masyarakat dan pengambil keputusan tidak menganggap serius peringatan itu.

Saya sadar betul bahwa tulisan ini mungkin hanya lewat begitu saja. Bisa jadi dianggap terlalu abstrak, atau tidak langsung menjawab masalah yang sedang terjadi. Dan memang benar ini bukan solusi langsung. tulisan ini muncul dari refleksi dan keprihatinan melihat situasi yang terjadi akhir-akhir ini, sebuah situasi yang membawa duka bagi banyak orang dan membuka kembali pertanyaan lama tentang bagaimana kita, sebagai masyarakat dan negara, merespons risiko.

Kita tidak bisa mengubah arah kebijakan dalam semalam. Kita juga tidak bisa mengendalikan dinamika politik yang rumit. Tapi jika kita ingin kondisi seperti ini tidak terus berulang, kita harus kembali ke satu hal fundamental: melihat data dan belajar kembali mendengarkan ilmuwan. Bukan karena ilmuwan selalu benar, tetapi karena mereka bekerja dengan metode yang justru dirancang untuk menguji dirinya sendiri, mengoreksi kesalahan, dan membaca pola risiko jauh sebelum risiko itu terlihat. 

Pemerintah memiliki tanggung jawab moral dan struktural untuk memastikan keputusan publik tidak dibangun dari opini, tetapi dari bukti. Mungkin juga ada beberapa hal yang bisa kita perbaiki bersama yaitu:

a. Memberikan ruang lebih besar bagi sains dalam kebijakan, bukan hanya bagi suara yang paling nyaring atau kepentingan segelintir orang

b. Menyadari bias kita sendiri, agar kita tidak menolak sains hanya karena hasilnya tidak sesuai preferensi kita

c. Menghargai proses ilmiah, yang memang tidak menawarkan kepastian instan, tetapi memberi kita alat terbaik untuk memprediksi konsekuensi

d. Memberi perhatian lebih serius ketika ilmuwan memberikan informasi, terutama yang sifatnya jangka panjang dan tidak kasat mata.

Ini hanyalah upaya kecil untuk memahami mengapa peringatan ilmiah begitu sering terlambat didengar dan bagaimana kita bisa mencegah hal yang sama terjadi lagi.

Kita tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi. Tapi kita bisa memilih untuk mendengarkan sebelum terlambat sekali lagi.

- ditulis pada suatu sore, ketika saya berharap kita semua mulai mau mendengar sedikit lebih dalam.

Comments

Popular Posts

Stories For Rainy Days : Volume I

Counting What Counts: Merenungi Ulang Cara Kita Menghargai Ilmu dan Ilmuwan