Counting What Counts: Merenungi Ulang Cara Kita Menghargai Ilmu dan Ilmuwan
Dari semua artikel internasional yang saya review tahun ini, semuanya menggunakan sistem Web of Science Reviewer Recognition (Publons).
Ada momen kecil tapi bermakna bagi saya yaitu ketika tiap kali menerima notifikasi bahwa artikel yang saya review terbit dan kemudian hasil review yang saya lakukan “diakui” secara resmi. Di layar memang hanya muncul angka, seperti berapa kali saya melakukan review, di jurnal mana, dan kapan. Tapi di balik angka sederhana itu, ada sesuatu yang lebih dalam: pengakuan atas kerja intelektual yang selama ini tersembunyi di balik anonimitas. Bagi saya, ini tanda pergeseran moral dalam dunia akademik yaitu bahwa kerja kognitif, meski tak terlihat, layak diingat.
Peer Review as Moral Labor
Peer review itu unik. Ia tidak menghasilkan data baru, tidak menambah publikasi, tidak mempercepat karir, tapi penting sekali karena menopang kredibilitas sistem pengetahuan. Reviewer bekerja tanpa imbalan finansial, tanpa sorotan, dan kadang juga tanpa ucapan terima kasih. Ia adalah bentuk moral labor bukan capital labor.
Dalam tradisi Mertonian ethos of science, terdapat empat norma dasar: communalism, universalism, disinterestedness, dan organized skepticism (Merton, 1942; Zuckerman, 1988). Menurut saya, peer review atau tinjauan sejawat paling mencerminkan organized skepticism atau semangat untuk memeriksa klaim ilmiah dengan cara yang terstruktur dan terbuka, sekaligus menjaga communalism, karena proses ini menegakkan standar bersama komunitas ilmiah (lihat juga Anderson et al., 2010). Literatur tentang counternorms (misalnya interestedness dan particularism) juga menegaskan pentingnya peer review sebagai mekanisme penyeimbang di tengah kompetisi akademik yang semakin ketat (Mitroff, 1974; Zuckerman, 1988).
Sayangnya, di banyak universitas, termasuk di Indonesia, aktivitas ini tidak pernah benar-benar dihitung. Yang diukur hanyalah berapa publikasi yang keluar, bukan siapa yang menjaga mutunya. Akibatnya, kita hidup dalam paradoks epistemik: ilmu pengetahuan berdiri di atas care work yang diabaikan oleh sistem penilaian formal (lihat juga Anderson et al., 2010 tentang pergeseran norma quality → quantity).
Sistem seperti Web of Science Reviewer Recognition mungkin tampak teknis, tapi sebenarnya ini adalah bagian dari revolusi sunyi dalam sains modern yaitu transparency as accountability. Kini kontribusi akademik tidak lagi berhenti pada siapa yang menulis, tapi juga siapa yang meninjau, siapa yang memverifikasi, dan bagaimana proses itu dicatat.
Bagi sebagian orang, ini mungkin hanya administrasi. Tapi bagi saya, ini simbol kejujuran ilmiah. Publikasi kini bukan hanya hasil akhir, melainkan jejak berpikir atau traceable artifacts of thought. Kebenaran ilmiah tidak hanya diuji lewat isi artikel, tapi juga lewat social verification trail di belakangnya.
Dengan memberi "wajah" pada yang sebelumnya tanpa nama, sistem ini memulihkan moral dimension dalam sains yang lama tereduksi menjadi angka dan akreditasi.
Tentu tidak ada sistem yang sepenuhnya netral. Transparansi bisa berubah jadi komodifikasi. Ketika aktivitas review mulai dihitung, ia bisa berubah menjadi “metricized virtue” atau hal yang dilakukan bukan karena tanggung jawab, tapi karena bisa diukur. Jika tidak hati-hati, ini bisa menimbulkan moral fatigue: reviewer bekerja bukan karena ingin menjaga integritas, melainkan karena bisa dituntut oleh universitas guna pencapaian pemenuhan indeks misalnya.
Namun saya tetap berpikir, lebih baik pekerjaan ini terukur daripada hal ini sama sekali tidak dihargai. Recognition, after all, is not about vanity—it is about fairness.
Gap Rekognisi di Indonesia: Antara Palugada dan Invisibility
Di atas kertas, universitas tampak sibuk mengejar indeks, akreditasi, dan publikasi. Namun di baliknya, ada ketimpangan mendasar antara apa yang dianggap kerja dan apa yang benar-benar dikerjakan.
Banyak dosen hidup dalam mode “palugada akademik” atau apa lu mau, gua ada. Mengajar, meneliti, membimbing, menjadi panitia, reviewer, editor, pengelola jurnal, hingga desainer brosur kegiatan atau menjadi notulen rapat. Semua dikerjakan dengan semangat tanggung jawab profesional, tapi hanya sebagian kecil dari kerja itu yang diakui oleh sistem pelaporan formal seperti BKD atau SISTER.
Contohnya, aktivitas peer review jarang memiliki tempat resmi dalam pelaporan kinerja, kecuali “diselundupkan” lewat kategori penunjang. Ironisnya, jika seorang dosen melaporkan semua beban kerja aktualnya, sistem justru bisa menandai sebagai “tidak memenuhi standar” karena melebihi batas maksimum beban kerja (misalnya 16 SKS).
Logika administratif ini menciptakan absurditas yang nyaris tragis:
“Kerja terlalu sedikit dianggap tidak produktif, kerja terlalu banyak dianggap tidak memenuhi.”
Maka munculah anjuran halus untuk “menghapus” sebagian kerja agar tetap tampak sesuai standar. Wow!
Dampaknya pun berlapis.
Pertama, fabrikasi administratif: laporan disesuaikan agar cocok dengan format, bukan dengan kenyataan.
Kedua, moral exhaustion: dosen yang betul-betul bekerja, justru diminta menahan diri agar tidak terlihat terlalu aktif, seolah etos dedikasi itu sendiri menjadi beban yang perlu disamarkan.
Selain itu, kondisi ini tidak lahir dari kemalasan individu, melainkan dari ketidakseimbangan struktural antara tuntutan dan dukungan. Universitas kerap menuntut setiap program studi memiliki jurnal terindeks, menyelenggarakan konferensi, dan menerbitkan artikel ilmiah dalam jumlah besar. Namun di sisi lain, dukungan yang seharusnya bersifat sistemik, seperti misal adanya administrator, journal manager, penerjemah atau teknisi editorial sering tidak tersedia. Akibatnya, beban institusional dialihkan menjadi beban personal dosen.
Inilah mengapa rekognisi sekecil apa pun, misalnya dari Web of Science Reviewer Recognition, terasa sangat berarti seperti potongan kecil keadilan epistemik di tengah sistem yang sering kali menutup mata.
Bagi saya, pengalaman direkognisi sebagai reviewer memberi semacam restorasi moral. Selama ini, saya mengerjakan review di sela riset dan mengajar, sering di malam hari juga. Di Indonesia, beberapa tim jurnal yang saya review artikelnya ada yang mengirim ucapan terima kasih, tapi ada pula yang hilang tanpa kabar setelah saya memberikan hasil review saya dan artikel tersebut terbit. Tahun ini, pengalaman saya berbeda, tidak seperti sebelumnya saat melakukan review jurnal Indonesia.
Ketika Web of Science mulai merekam jejak itu, bukan sebagai penghargaan tapi sebagai visibility, saya merasa ilmu pengetahuan akhirnya belajar menatap dirinya sendiri secara utuh dan melihat yang tampak sekaligus yang tersembunyi.
Indonesia bisa belajar dari sini: bahwa membangun sistem rekognisi yang adil bukan soal menambah indikator, tapi memberi makna pada indikator yang sudah ada.
Transparansi seperti ini juga bukan akhir, tapi awal dari tanggung jawab baru: menjaga agar yang terlihat tetap jujur, dan yang jujur tetap terlihat.
Karena pada akhirnya, menjadi ilmuwan bukan hanya tentang menemukan hal baru tetapi juga tentang menjaga kebenaran, bahkan ketika kebenaran itu tak punya tempat di formulir resmi.
- Catatan ini ditulis pada 4 November 2025, sore hari, di State College, Pennsylvania
Comments
Post a Comment
I don't hate comments :)