Authorship dan Etika Kontribusi: Sebuah Refleksi Pribadi dari Mahasiswa Doktoral
Baru-baru ini aku sedang menyusun sebuah draft opinion paper yang bersumber dari esai ujian komprehensifku yang mana proses penyusunannya dilakukan berbulan-bulan. Paper ini mendapat respons positif dari pembimbing dan komite doktoralku, sehingga mereka menyarankan agar segera aku submit ke jurnal ilmiah.
Ketika diskusi soal pengiriman paper ini berlangsung, advisorku bertanya:
“Apakah semua anggota komite mau dicantumkan sebagai co-author? Tanyakan dulu, karena tidak semua merasa nyaman namanya muncul jika merasa kontribusinya tidak signifikan.”
Kemudian beliau menjelaskan bahwa menurut APA Publishing Policies, konsep authorship mengikuti prinsip contributorship. Ini artinya, authorship bukan hanya untuk mereka yang menulis, tetapi juga bagi siapa pun yang memberi kontribusi ilmiah substansial, seperti:
-
Konseptualisasi ide dan tujuan penelitian,
-
Mendesain metodologi atau pendekatan penelitian,
-
Melakukan analisis formal yang signifikan,
-
Berpartisipasi aktif dalam penulisan atau revisi substansial terhadap paper.
Kontribusi ini dijelaskan secara detail dalam panduan CRediT (Contributor Roles Taxonomy) yang kini banyak dipakai oleh jurnal ilmiah dunia. CRediT mendefinisikan dengan jelas 14 jenis kontribusi ilmiah, antara lain:
-
Conceptualization
-
Data curation
-
Formal analysis
-
Funding acquisition
-
Investigation
-
Methodology
-
Project administration
-
Resources
-
Software
-
Supervision
-
Validation
-
Visualization
-
Writing – original draft
-
Writing – review & editing
(Penjelasan lengkapnya bisa langsung diakses dan diunduh di laman resmi CRediT Contributor Role Taxonomy.)
Pengalaman Nyata Tentang Integritas Ilmiah
Aku teringat dua peristiwa menarik lainnya soal authorship ini.
Pertama, seorang profesor senior (yang punya nama besar di akademia) menolak dicantumkan namanya sebagai co-author di poster yang aku presentasikan di konferensi internasional. Padahal aku menggunakan dataset untuk poster tersebut ya dari project beliau. Katanya di email:
“Thanks for the possibility of authorship, but I don’t want to detract from the hard work you’ve done here!”
Beliau menganggap aku yang telah melakukan analisis dan juga menulis abstraknya dan yang beliau lakukan adalah memberikan feedback saja sehingga tidak berkontribusi signifikan. Kedua, aku pernah mengambil sebuah kelas yang mana profesornya mensyaratkan menulis review paper untuk ujian akhir. Aku menyelesaikan paper tersebut untuk kelas dan kemudian mengembangkannya lebih komprehensif untuk dipublikasikan (hamdalah bulan ini akan publish hehehe). Dalam prosesnya, Professor tersebut juga menolak menjadi co-author meski beliau memberi masukan awal di tahap konseptualisasi. Ia dengan rendah hati mengatakan kontribusinya hanya sebatas tugas mengajar yang sudah jadi tanggung jawabnya. Kami akhirnya menyebut beliau di bagian Acknowledgements saja.
Hal ini membuatku sadar bahwa integritas ilmiah bukan soal senioritas, tapi soal kejujuran tentang kontribusi. Bahkan akademisi dengan reputasi global bisa dengan mudah menolak authorship karena tahu, hanya karena bisa dicantumkan, tidak berarti seharusnya dicantumkan.
Aku Bagian dari Sistem Itu!
Refleksi ini membawaku pada pertanyaan lain:
Apakah para dosen ini tidak punya tekanan besar untuk memenuhi angka kredit atau tuntutan KUM seperti yang dialami dosen-dosen di Indonesia?
Aku tidak menulis ini untuk menyalahkan dosen-dosen yang mungkin pernah atau masih melakukan praktik tersebut. Aku paham bahwa mereka hanyalah bagian dari sebuah ekosistem yang bermasalah. Sistem yang terkadang lebih mengutamakan kuantitas publikasi daripada substansi ilmiahnya.
Aku sendiri juga bagian dari komunitas dosen di Indonesia. Aku tahu betul tekanan yang dialami rekan-rekanku di tanah air: tuntutan angka KUM, target publikasi, dan tuntutan administratif lainnya dalam kerangka Tridharma Perguruan Tinggi yang sering tidak realistis (belum lagi soal isu kesejahteraan atau gajinya).
Dalam praktik di banyak institusi, authorship kerap jadi mata uang simbolik. Ya semacam “timbal balik” atas posisi struktural, relasi kuasa, atau sekadar demi target angka.
Kenapa bisa begitu?
Salah satunya adalah sistem Tridharma Perguruan Tinggi yang mewajibkan dosen untuk menjadi pendidik, peneliti, dan pelayan masyarakat sekaligus. Semua ini ditambah dengan tuntutan untuk mengumpulkan angka kredit (KUM) demi kenaikan jabatan.
Dalam sistem seperti ini, muncul insentif untuk mempercepat publikasi melalui cara-cara efisien, termasuk “numpang nama” di artikel mahasiswa, atau memasukkan kepala lab tanpa kontribusi langsung. Praktik ini memang “efisien”, tapi mengorbankan satu hal paling esensial: kejujuran ilmiah.
Perbedaan sistem akademik bisa jadi berperan dalam hal ini. Sistem akademik di kebanyakan universitas luar negeri memang berbeda. Di universitas tertentu di luar negeri, peran dosen terbagi jelas antara:
-
Teaching Professor (fokus mengajar dan pendidikan)
-
Research Professor (fokus penuh pada penelitian).
Sedangkan kita di Indonesia dituntut menjadi palu gada "apa lu mau, gua ada". yup! harus cakap mengajar, meneliti, dan mengabdi sekaligus. Tidak heran, akhirnya muncul budaya "numpang nama" demi memenuhi angka kredit secara cepat dan praktis.
Jalan Keluar?
Namun, aku ingin mengajak kita semua bertanya:
Sampai kapan sistem akademik kita akan seperti ini?
Perubahan tidak bisa datang hanya dari regulasi, tapi harus dimulai dari kita sendiri. Aku sadar betul posisiku yang masih sangat dini dalam karir akademik ini, belum memiliki reputasi apapun, tapi mungkin karena itulah aku ingin perubahan ini segera dimulai agar sumber daya manusia yang memang passionate dalam penelitian maupun bidang pengajaran bisa menunjukkan performa terbaiknya tanpa harus menyiasati sistem yang menghargai angka lebih dari kontribusi.
Karena ketika sistem lebih peduli pada berapa banyak artikel yang terbit ketimbang siapa yang sebenarnya bekerja ataupun kualitasnya, maka akan selalu ada ruang untuk praktik manipulatif, baik itu “numpang nama”, ghostwriting, atau bahkan publikasi di jurnal predator. Dan ironisnya, praktik ini justru dilakukan bukan hanya oleh yang malas, tapi juga oleh mereka yang sebenarnya bekerja keras, tapi terpaksa memilih jalan yang “strategis” karena tekanan sistem.
Bayangkan jika sistem evaluasi memberi ruang yang setara bagi mereka yang ingin fokus mengajar dengan sungguh-sungguh, atau bagi peneliti murni yang memilih mendalami satu pertanyaan penting selama bertahun-tahun. Kita butuh sistem yang memberi tempat pada kedalaman, bukan sekadar kecepatan.
Dan jika tidak dimulai dari generasi kita (yang saat ini sedang belajar, membentuk tim kecil, menulis paper, membangun kolaborasi) lalu dari siapa lagi? Karena itu, aku percaya bahwa perubahan tidak hanya menuntut refleksi, tapi juga langkah konkret. Beberapa hal yang menurutku perlu didorong bersama, baik oleh individu, lembaga, maupun pembuat kebijakan:
-
Mendorong institusi untuk menciptakan jalur dosen yang berbeda-beda . Misalnya dosen pengajar, dosen peneliti, dan dosen pengabdian kepada masyarakat, dengan metode penilaian dan insentif yang adil dan sesuai dengan porsinya masing-masing. Tidak semua orang harus menulis jurnal jika kekuatannya justru ada di ruang kelas atau pemberdayaan masyarakat.
-
Mengintegrasikan edukasi tentang authorship dan CRediT taxonomy ke dalam pelatihan dosen dan mahasiswa pascasarjana. Pemahaman tentang kontribusi ilmiah seharusnya menjadi bagian dari literasi akademik dasar, bukan sekadar pengetahuan tambahan bagi yang sudah senior.
-
Mengubah format laporan penelitian, publikasi, dan pengusulan angka kredit agar tidak hanya mencantumkan jumlah artikel, tetapi juga menyertakan keterangan kontribusi berbasis CRediT. Ini akan mendorong transparansi dan menghargai kerja tim secara adil.
Aku menulis ini bukan dari posisi orang yang sudah mapan, punya jabatan, atau punya rekam jejak panjang di dunia akademik. Aku masih sangat awal, bahkan mungkin belum terlihat. Tapi justru karena aku masih berada di awal inilah aku ingin ikut menyuarakan dan semoga ada perubahan yang bisa kita mulai bersama.
Karena di tengah sistem yang belum ideal, integritas adalah satu hal yang masih bisa kita kontrol sendiri. Dan semoga, tulisan ini menjadi bagian kecil dari perubahan itu.
The Thinker by Auguste Rodin – 📍 Rodin Museum, Philadelphia
Comments
Post a Comment
I don't hate comments :)