Dari Mean ke Multilevel SEM: Sebuah Perjalanan Pendewasaan Berpikir Ilmiah
Dulu, ketika aku pertama kali belajar statistik dan analisis data, pendekatan yang kupahami masih sangat tradisional. Misalnya, jika aku ingin mengetahui apakah stres berkaitan dengan fungsi kognitif, maka aku cukup menghitung rata-rata (mean) skor stres dan kognisi setiap orang, lalu yaudah, ambil dua variabel, cari korelasinya. Kalau ada grup berbeda? Pake ANOVA. Mau prediksi? Linear regression. Simple. Logis. Rasanya cukup buat "menjelaskan hubungan antar variabel".
Tapi ternyata, makin banyak belajar, makin kerasa: dunia ini lebih kompleks daripada sekadar rata-rata. Dan hasil penelitian bisa misleading kalau kita cuma ngandelin between-person analysis atau data yang dirata-ratain aja. Apalagi kalau kita bicara soal perasaan, kognisi, dan perilaku sehari-hari—nggak sesederhana itu.
Makin aku mendalami metode kuantitatif, makin sadar bahwa mean-level analysis atau between-person comparisons itu nggak cukup buat memahami bagaimana proses psikologis bekerja "dalam" individu. Dan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam dan akurat, kita harus rela masuk ke kerumitan analisis yang lebih advanced seperti Multilevel SEM (Structural Equation Modeling).
Saat Mean Tak Lagi Cukup
Kita ambil contoh: kamu meneliti hubungan antara stres dan fungsi kognitif. Kalau kamu cuma ngelihat rata-rata stres seseorang selama seminggu, lalu kamu hubungkan dengan rata-rata skor memori mereka, kamu cuma menangkap cerita antar individu (between-person). Tapi kamu tidak tahu apa yang terjadi dalam diri mereka dari hari ke hari.
Padahal bisa jadi, hari-hari ketika seseorang merasa lebih stres dari biasanya, fungsi kognitifnya menurun. Nah, hubungan ini cuma bisa kelihatan kalau kamu pakai within-person modeling.
Itulah titik balik dalam cara pikirku: bahwa untuk menjawab pertanyaan riset secara valid, kita harus memisahkan antara interindividual variation dan intraindividual dynamics.
Between ≠ Within: Perbedaan yang Krusial
Selain dari proses belajar di kelas dan diskusinya, dua artikel ini yang mengubah cara berpikirku:
- Stawski, Sliwinski, & Hofer (2013) — Between-Person and Within-Person Associations among Processing Speed, Attention Switching and Working Memory (original article link)
- Rush et al. (2019) — Modeling Long-Term Changes in Daily Within-Person Associations: An Application of Multilevel SEM (original article link)
Aku masih ingat waktu pertama kali baca artikel Stawski dkk. (2013), aku sampai berhenti sejenak dan mikir, “Loh, selama ini aku cuma ngelihat data dari atas aja?” Rasanya seperti disadarkan bahwa ada dunia lain di balik angka-angka rerata — dunia dinamika dalam individu yang selama ini aku anggap noise.
Stawski dkk. (2013) menunjukkan bahwa dalam studi kognisi dan penuaan, banyak teori yang sebenarnya menjelaskan proses-proses yang berlangsung di dalam individu dari waktu ke waktu (within-person), tapi seringkali hanya diuji di level between-person. Ini bisa menghasilkan inferensi yang salah.
Contohnya, mereka menunjukkan bahwa processing speed lebih kuat memprediksi working memory di level between-person, tapi di level within-person, justru attention switching yang lebih penting. Artinya, hubungan antar variabel bisa sangat berbeda tergantung dari level analisisnya.
Bayangkan kamu mengatakan, “Orang yang lebih cepat memproses informasi juga punya memori kerja lebih baik,” padahal di dalam diri seseorang, saat mereka lebih lambat memproses informasi hari ini, belum tentu memori kerjanya juga lebih buruk hari itu.
Inilah yang disebut non-ergodicity — struktur hubungan antar variabel tidak bisa diasumsikan sama antara antara-individu dan dalam-diri-sendiri. Model analisis tradisional, sayangnya, sering mengabaikan ini.
Multilevel SEM: Melihat Gambar yang Lebih Kompleks (dan Lebih Benar)
Artikel Rush et al. (2019) kemudian membuka pikiranku. Mereka menggunakan pendekatan Multilevel Structural Equation Modeling (MSEM) untuk menangkap dinamika hubungan antar variabel di dua level sekaligus: between-person dan within-person. Model ini luar biasa powerful karena bisa membedakan variasi antar orang (interindividual) dan variasi dari waktu ke waktu dalam diri seseorang (intraindividual).
Mari lihat diagram berikut:
Gambar ini diambil dari Rush et al. (2019)
Di bagian bawah (within-person model), kita bisa melihat bagaimana emosi negatif (NA) dan positif (PA) memprediksi emosi spesifik seperti "Afraid", "Ashamed", "Active", dst., dalam satu individu dari waktu ke waktu. Sementara di bagian atas (between-person model), kita melihat struktur hubungan antar variabel yang merepresentasikan perbedaan antar individu secara rata-rata. Perhatikan bahwa koefisiennya beda. Artinya, hubungan antar variabel pada kedua level tersebut tidak identik dan jika kita hanya menganalisis mean scores, kita bisa menyimpulkan hal yang keliru.
Dan di situlah letak keindahan (dan tantangan) dari Multilevel SEM yang tidak hanya menangkap "apa yang terjadi antara orang", tapi juga "apa yang terjadi dalam orang", dari waktu ke waktu.
Di dalam model tersebut, kita melihat bahwa Negative Affect (NA) dan Positive Affect (PA) bukan hanya sekadar skor total atau rerata, tapi merupakan konstruk laten yang berubah-ubah tiap harinya (dalam within-person model), sekaligus memiliki trait-like average tendencies (dalam between-person model).
Misalnya, di level within-person:
Saat seseorang merasa lebih “afraid” atau “ashamed” dari biasanya, emosi negatif (NAₜ) meningkat. Tapi di hari lain, saat dia merasa lebih “active” atau “determined”, emosi positif (PAₜ) bisa meningkat juga — meskipun hari itu dia tetap merasa sedikit “upset”.
Menariknya, ada korelasi positif kecil antara NAₜ dan PAₜ (0.08) di level within-person. Artinya, kadang emosi positif dan negatif bisa muncul bersamaan dalam individu, misalnya saat seseorang gugup tapi semangat presentasi — kondisi yang mendukung konsep mixed emotions.
Namun di level between-person, korelasi NAᵢ dan PAᵢ justru hampir nol (-0.02). Ini artinya, meskipun dua orang punya rerata skor PA yang sama, belum tentu mereka juga mirip dalam rerata skor NA-nya. Dan sebaliknya. Ini mendukung teori bahwa afek positif dan negatif itu independen secara struktural antar individu — tidak harus berada di dua kutub spektrum emosi.
Kalau kita hanya menganalisis data rata-rata (mean), kita akan kehilangan cerita yang lebih dinamis dan nyaris pasti menyimpulkan secara keliru. Karena struktur emosi seseorang tidak identik dengan struktur emosi populasi. Inilah esensi dari non-ergodicity — dan inilah kenapa aku merasa pendekatan MSEM bukan sekadar teknikal, tapi filosofis.
Learning to Think in Layers
Mungkin ini terdengar teknis banget. Tapi buatku, ini adalah bagian dari proses pendewasaan berpikir ilmiah. Dulu, aku pikir "lebih kompleks" itu artinya rumit tanpa alasan. Tapi ternyata, kompleksitas dalam model statistik sering kali adalah cermin dari kompleksitas realita manusia.
Setiap individu itu punya dinamika harian. Apa yang berlaku untuk banyak orang belum tentu berlaku dalam satu orang, dan sebaliknya. Model seperti MSEM tidak hanya memberi alat, tapi juga bahasa baru untuk memahami dunia yang lebih kaya, lebih fluktuatif, dan — jujur aja — lebih jujur.
Sekarang aku paham kenapa misalnya dalam intervensi klinis, kita nggak bisa cuma bilang "orang yang punya stres tinggi biasanya punya gangguan tidur." Karena dalam satu orang, mungkin kadang stres tinggi, tapi tidurnya tetap nyenyak — tergantung konteks. Mungkin karena hari itu dia olahraga, atau ngobrol sama temen dekat. Dengan within-person analysis, kita bisa menangkap "fluktuasi + konteks" seperti itu.
Akhirnya, Ini Bukan Cuma Soal Statistik
Pada akhirnya, ini bukan cuma soal memilih metode statistik yang paling canggih atau model yang paling rumit. Ini juga tentang bagaimana kita memandang manusia — bukan hanya sebagai angka rata-rata, tapi sebagai individu yang berubah-ubah, dengan emosi, pikiran, dan pengalaman yang terus bergerak dari waktu ke waktu.
Buatku pribadi, proses belajar tentang within-person modeling seperti Multilevel SEM (Structural Equation Modeling) bukan berarti aku sekarang jadi jago. Tidak. Risetku pun masih penuh keterbatasan dan coba-coba. Tapi paling nggak, aku mulai sadar: kalau kita ingin memahami dinamika psikologis secara lebih jujur, kita juga harus siap melihat kompleksitasnya.
Dan meski pendekatan seperti ini lebih sulit, aku mulai melihatnya bukan sebagai beban, tapi sebagai bentuk rasa respect pada data, pada orang-orang yang kita teliti, dan pada realitas hidup yang jarang sekali linear.
Kalau kamu juga lagi belajar dan kadang merasa overwhelm sama semua ini, kamu nggak sendiri. Aku pun masih sering bingung, masih banyak salah, dan terus belajar. Tapi rasanya perjalanan ini worth it karena semakin dalam kita mencoba memahami, semakin besar pula ruang untuk empati, baik dalam riset maupun kehidupan sehari-hari.
Comments
Post a Comment
I don't hate comments :)