Tahun Ketiga PhD: Antara Tidak Terasa dan Terasa Banget

Tidak terasa (eh, kadang terasa juga ding 😅) perjalananku sebagai mahasiswa PhD kini resmi genap tiga tahun. Aku menutup tahun ini dengan menyelesaikan doctoral exam tahap dua (dari total tiga tahap di programku). Ujian ini tidak main-main. Untuk bisa menyusun jawabannya, aku harus membaca minimal 100 artikel ilmiah, baik jurnal maupun buku, yang menjadi dasar teoritis dan metodologis topik disertasiku. Bukan karena apa, tapi itu syaratnya. Kalau tahap pertama namanya Qualifying Exam/Exam Candidacy untuk menilai apakah kita layak menjadi PhD Candidate atau tidak. Tapi ini akan berbeda ya ntah penamaan ujiannya dan juga proses ada berapa tahapan yang harus dilalui (jadi wajib hukumnya kamu baca handbook program yang mau dipilih).

Sedikit gambaran, program PhD di Amerika Serikat itu cukup berbeda dari banyak negara lain seperti Indonesia, Jepang, Belanda, atau Inggris. Di sini, mahasiswa PhD wajib menjalani kuliah di kelas (coursework) selama dua tahun pertama, bukan langsung riset. Dalam programku sendiri (Human Development and Family Studies di bawah College of Health and Human Development, Penn State), ada required coursework (mata kuliah wajib) dan elective coursework (pilihan). Tapi elective class pun tetap harus mendukung disertasi dan banyak yang fokus ke metodologi kuantitatif.

Aku pribadi memang memilih studi di AS karena merasa perlu memperdalam dasar metodologis dan statistikku. Dan benar saja, hampir semua mata kuliah yang wajib di departemenku adalah statistik, mulai dari Multilevel Modeling, Bayesian Analysis, Structural Equation Modeling, sampai Time Series Analysis. Programku memang terkenal kuat di bidang Quantitative Methodology — dan dosen-dosennya, jujur, sangat luar biasa di bidang ini. Iya betul kita memelajari tentang manusia tetapi manusia itu kompleks dan juga berinteraksi dengan banyak layer sistem dan untuk menghasilkan suatu kesimpulan ya butuh analisis yang tetap dan meminimalkan error di dalamnya agar tidak misleading seperti yang udah aku jelaskan di postingan sebelumnya soal multilevel SEM.

Peran Pembimbing

Setiap departemen di kampusku punya format ujian doktoral yang berbeda. Di departemenku, kami harus melewati tiga tahap ujian. Dan jujur, salah satu faktor terbesar yang membantuku survive sejauh ini adalah punyanya pembimbing (advisor) yang suportif banget. Beliau sangat terstruktur, responsif, dan selalu memberikan opsi sambil tetap menghargai pilihanku sendiri. Demokratis tapi jelas arah dan dukungannya.

Contoh kecil: saat aku butuh akses software SAS (yang berbayar) untuk kelas Multilevel Modeling, beliau langsung menawarkan untuk membelikan lisensinya. Saat kami submit artikel ke jurnal yang tidak ditanggung oleh kampus (biaya APCnya), beliau juga sigap untuk cari solusi pendanaan. Bahkan untuk urusan konferensi pun, beliau tegas bilang: "Kamu jangan sampai keluar uang dari kantong sendiri. Kampus atau Lab harus bisa support."

Yang aku paling apresiasi, beliau sangat menghargai work-life boundaries. Kami punya weekly meeting 1-on-1 dan Lab meeting dua minggu sekali. Untuk individual meeting, biasanya max 1 jam. Untuk Lab meeting, Durasi pertemuan pun tidak pernah berlebihan; paling lama satu jam, tapi biasanya hanya 30–40 menit. Setiap meeting selalu dibuka dengan overview agenda, dilanjutkan pembahasan poin-poin penting, pengisian logbook, serta diskusi target dan rencana ke depan, dan selesai. Semuanya jelas, ringkas, dan efisien. Selain itu, juga tidak ada tekanan untuk terus "online" atau merasa harus selalu tersedia. Budaya kerja yang sangat menghargai waktu, baik waktu sendiri maupun waktu orang lain. Ada kesadaran penuh bahwa setiap orang punya urusan dan ritme hidup masing-masing. Tidak ada tekanan untuk selalu online atau merasa harus terus tersedia setiap saat. Lingkungan seperti ini membuatku merasa lebih fokus dan produktif, terjaga keseimbangannya, dan tidak burnout, kalaupun ada problem ya itu berasal dari dalam sendiri.

Tantangan? Pasti Ada

Tiap orang pasti punya tantangannya sendiri di perjalanan PhDnya. Bagiku, tahun pertama adalah masa adaptasi administratif dan emosi, termasuk perasaan "nggak cukup pintar" atau "nggak pantas di sini." Apalagi di akhir tahun pertama menuju tahun kedua, aku harus ganti advisor karena pembimbing yang lama pindah kampus, dan aku tidak bisa ikut beliau karena terikat kontrak Fulbright yang mengharuskanku stay di Penn. Untungnya, advisor-ku sekarang sangat terbuka dan menyambutku di Labnya.

Di tahun ketiga ini juga sempat ada drama terkait beasiswa Fulbright karena isu pemotongan dana dari pemerintah yang tiba-tiba dan berdampak luas. Stipend-ku sempat tertunda. Advisor-ku lagi-lagi jadi orang pertama yang nanya kabar dan langsung mengontak Dean, international office/affair, dan stakeholder kampus lain untuk bantu mitigasi.

Dari situ aku belajar: support system dalam PhD itu bukan bonus, tapi kebutuhan. Dukungan dari advisor bisa menentukan apakah kamu bisa berkembang atau malah tersendat.

Refleksi: Worth It?

PhD bukan buat semua orang, dan itu not a bad thing. Aku percaya bahwa setiap orang punya jalur belajar dan bertumbuhnya masing-masing. Program PhD, khususnya di Amerika, adalah komitmen jangka panjang. Di programku sendiri, rata-rata durasinya 4 hingga 5 tahun, tapi tidak sedikit juga yang memerlukan waktu 6 atau bahkan 7 tahun, tergantung pada bidang, proyek riset, dan dinamika hidup masing-masing. Kalau kamu mempertimbangkan PhD karena sedang gabut, ingin “melarikan diri” dari dunia kerja, atau sekadar ingin menambah gelar, tentu itu hakmu — tapi perlu disadari bahwa yang dihadapi nanti bukan hanya soal akademik, tapi juga soal stamina emosional, konsistensi, dan ketahanan menghadapi ketidakpastian. Ada masa-masa stagnan, ada revisi, ada proyek yang gagal/rejection, dan bahkan, imposter syndrome bisa jadi teman harian.

Aku tidak menulis ini untuk menakut-nakuti atau menurunkan semangat siapa pun. Justru sebaliknya — aku ingin mengajak kita untuk lebih mindful sebelum mengambil keputusan besar. Karena kalau kamu tahu alasanmu, dan kamu punya support system yang cukup (baik dari lingkungan akademik maupun dari dalam dirimu sendiri), maka PhD bisa menjadi pengalaman yang sangat bermakna. Bagi aku pribadi, sejauh ini perjalanan ini adalah worth the investment. Bukan hanya dalam konteks karier akademik, meskipun iya, aku belajar banyak tentang riset, metodologi, dan cara berpikir kritis, tapi lebih dari itu, aku berkembang sebagai pribadi. Aku belajar mengenali batas kemampuanku, mengatur waktu dan emosi, menerima kegagalan sebagai bagian dari proses, dan yang paling penting: belajar meminta bantuan dan membangun koneksi yang sehat.

PhD bukan hanya tentang menghasilkan disertasi. Ia adalah perjalanan yang membentuk ulang caramu memahami dunia, relasi, dan dirimu sendiri. Dan ketika dijalani dengan kesadaran penuh, perjalanan ini bisa menjadi titik balik yang sangat bermakna dalam hidup.

Melalui tiga tahun ini, aku belajar bahwa setiap fase dalam PhD membawa tantangan dan pelajaran yang berbeda dan tidak ada satu pun yang benar-benar bisa diprediksi sepenuhnya dari awal. Justru di situlah letak nilainya: proses ini memaksaku untuk terus beradaptasi, mengambil keputusan dengan lebih bijak, dan merayakan kemajuan kecil yang sering kali tak terlihat. PhD bukan jalan yang lurus dan mulus, tapi jika dijalani dengan kesadaran dan dukungan yang tepat, ia bisa menjadi ruang yang subur untuk bertumbuh, baik sebagai peneliti, maupun sebagai manusia.


*pesan hangat dari advisor setelah aku menyelesaikan tahap dua ujian doktoralku. sederhana, tapi penuh makna.


*meja belajar jelang ujian doktoral tahap 2: setiap tumpukan kertas punya cerita-tentang kebingungan, pencarian argumen, dan akhirnya, pemahaman.

Comments

Popular Posts

Authorship dan Etika Kontribusi: Sebuah Refleksi Pribadi dari Mahasiswa Doktoral

Dari Mean ke Multilevel SEM: Sebuah Perjalanan Pendewasaan Berpikir Ilmiah