TES PAPS UGM? SUSAH NGGAK?


Buat kamu yang pengen masuk UGM, mungkin post kali ini dapat membantu kamu karena ku akan bahas sekilas tentang apa itu tes PAPS yang jadi syarat wajib kalau mau masuk UGM. Jadii, PAPS adalah tes kemampuan kognitif yang dirancang khusus untuk mengungkap potensi akademik, yaitu potensi yang mendasari kemungkinan seseorang untuk dapat berhasil pada saat belajar lebih lanjut di perguruan tinggi, khususnya pada pendidikan S2 dan S3. Kalau tidak salah minimal skor 450.
Aku juga baru mencoba ikut tes PAPS ini, waktu itu skor totalku yaitu 651 dengan rincian Kemampuan Verbal 658, Kemampuan Kuantitatif 656, Kemampuan Penalaran 640. Pasti kalian bisa juauuh lebih baik skornya! 
Buat kalian yang mau daftar bisa cek link ini yaa  https://paps.ugm.ac.id/ 
PAPS ini terdiri dari tiga subtes yaitu subtes verbal, subtes kuantitatif, dan subtes penalaran. Untuk keseluruhan tes yang terdiri atas 120 soal disediakan waktu 100 menit.

1. Subtes Verbal (20 menit), nanti soal-soalnya berisi seperti:
  • Sinonim
  • Lawan Kata
  • Analogi 
  • Pemahaman Wacana
2. Subtes Kuantitatif (40 menit) berisi:
  • Deretan Angka
  • Aritmetika
  • Konsep Aljabar
  • Perbandingan Kuantitatif
3. Subtes Penalaran (40 menit) berisi:
  • Logis
  • Diagram
  • Analitis
  • Serial
Sebenarnya tes PAPS ini tidak terlalu susah kok asalkan sebelumnya sudah "pemanasan" alias belajar, terlebih pada soal-soal subtes verbal kita perlu perbanyak kosakata. Kalau nggak banyak baca ya gimana bisa tahu banyak kata ya kan?

 Lalu untuk subtes kuantitatif, kita perlu latihan kecepatan dalam mengerjakan soal seperti deret angka. Kalau jarang dilatih pasti kamu bakal lama ngerjain tiap soalnya dan alhasil kehabisan waktu, seringnya banyak soal yang tidak terjawab. Kan sayang :( Nah jadi perbanyak latihan soal-soal dan jangan lupa pake timer ya!

Kemudian subtes penalaran ini yang aku paling agak males ngerjainnya (hehehe). If I'm not mistaken ada yang gambar di bolak balik/ yang missing disuruh ngelengkapin gitu. I have to admit kemampuan spasial aku ga bagus gaes :(

Tapi tetep ya kita harus fokus ngerjain dan jangan stuck sama satu soal yang susah karena bakal ngehabisin waktu banget. Kalo gatau jawabannya langsung skip kerjain yang bisa. Oya, kalian nggak boleh membuka dan mengerjakan subtes yang waktu pengerjaannya udah berakhir yaa kalau nggak taat ntar bakal didiskualifikasi lho kan sayang udah bayar :(

Intinya perbanyak kosakata dan latihan ngitung cepet. It's cliche but I do believe that practice makes perfect. Nggak ada yang instan kecuali pake calo (tapi ya jangan dong, masa mau nuntut ilmu lewat jalan yang begitu, kan sedih Ki Hajar Dewantara). 

Jangan tidur kemaleman juga yaaa karena pasti ngefek banget (aku kalau ga tidur cukup sering loading lama, dan rawan mood swing ehehehe). Kalau kamu anaknya gampang lamper, mending makan dulu sebelum tes tapi jangan banyak-banyak ntar mwules :(
Terakhir, berdoa yaa. Good Luck!

Comments

Post a Comment

I don't hate comments :)

Popular Posts

Authorship dan Etika Kontribusi: Sebuah Refleksi Pribadi dari Mahasiswa Doktoral

Image
Baru-baru ini aku sedang menyusun sebuah draft opinion paper yang bersumber dari esai ujian komprehensifku yang mana proses penyusunannya dilakukan berbulan-bulan. Paper ini mendapat respons positif dari pembimbing dan komite doktoralku, sehingga mereka menyarankan agar segera aku submit ke jurnal ilmiah. Ketika diskusi soal pengiriman paper ini berlangsung, advisorku bertanya: “Apakah semua anggota komite mau dicantumkan sebagai co-author ? Tanyakan dulu, karena tidak semua merasa nyaman namanya muncul jika merasa kontribusinya tidak signifikan.” Kemudian beliau menjelaskan bahwa menurut APA Publishing Policies , konsep authorship mengikuti prinsip contributorship . Ini artinya, authorship bukan hanya untuk mereka yang menulis, tetapi juga bagi siapa pun yang memberi kontribusi ilmiah substansial, seperti: Konseptualisasi ide dan tujuan penelitian, Mendesain metodologi atau pendekatan penelitian, Melakukan analisis formal yang signifikan, Berpartisipasi aktif dalam pen...
Read more

Tahun Ketiga PhD: Antara Tidak Terasa dan Terasa Banget

Image
Tidak terasa (eh, kadang terasa juga ding 😅) perjalananku sebagai mahasiswa PhD kini resmi genap tiga tahun. Aku menutup tahun ini dengan menyelesaikan doctoral exam tahap dua (dari total tiga tahap di programku). Ujian ini tidak main-main. Untuk bisa menyusun jawabannya, aku harus membaca minimal 100 artikel ilmiah, baik jurnal maupun buku, yang menjadi dasar teoritis dan metodologis topik disertasiku. Bukan karena apa, tapi itu syaratnya. Kalau tahap pertama namanya Qualifying Exam/Exam Candidacy untuk menilai apakah kita layak menjadi PhD Candidate atau tidak. Tapi ini akan berbeda ya ntah penamaan ujiannya dan juga proses ada berapa tahapan yang harus dilalui (jadi wajib hukumnya kamu baca handbook program yang mau dipilih). Sedikit gambaran, program PhD di Amerika Serikat itu cukup berbeda dari banyak negara lain seperti Indonesia, Jepang, Belanda, atau Inggris. Di sini, mahasiswa PhD wajib menjalani kuliah di kelas ( coursework ) selama dua tahun pertama, bukan langsung ris...
Read more

Dari Mean ke Multilevel SEM: Sebuah Perjalanan Pendewasaan Berpikir Ilmiah

Image
Dulu, ketika aku pertama kali belajar statistik dan analisis data, pendekatan yang kupahami masih sangat tradisional. Misalnya, jika aku ingin mengetahui apakah stres berkaitan dengan fungsi kognitif, maka aku cukup menghitung rata-rata (mean) skor stres dan kognisi setiap orang, lalu yaudah, ambil dua variabel, cari korelasinya. Kalau ada grup berbeda? Pake ANOVA. Mau prediksi? Linear regression. Simple. Logis. Rasanya cukup buat "menjelaskan hubungan antar variabel". Tapi ternyata, makin banyak belajar, makin kerasa: dunia ini lebih kompleks daripada sekadar rata-rata. Dan hasil penelitian bisa misleading kalau kita cuma ngandelin between-person analysis atau data yang dirata-ratain aja. Apalagi kalau kita bicara soal perasaan , kognisi , dan perilaku sehari-hari —nggak sesederhana itu. Makin aku mendalami metode kuantitatif, makin sadar bahwa mean-level analysis atau between-person comparisons itu nggak cukup buat memahami bagaimana proses psikologis bekerja " da...
Read more