Fight or Flight? Mengapa Kita Membenci Ketidakpastian Selama Pandemi?

Berhadapan dengan situasi yang ambigu dan tidak pasti akibat pandemi seperti ini telah memunculkan pelbagai konsekuensi psikologis mulai dari gangguan kecemasan hingga depresi. Publik menjadi bingung dan reaktif dengan ancaman virus itu sendiri, juga ancaman tidak mampu untuk bertahan hidup lantaran masalah ekonomi, terlebih lagi kebijakan-kebijakan pemerintah yang seolah berubah-ubah dan tidak memberikan ketenangan pada masyarakat. Meluapnya informasi terkait pandemi juga tak kalah menjadi sumber stressor bagi masyarakat.

Kecemasan yang dirasakan kemudian meningkat, terlebih bagi beberapa orang yang tidak bisa mentolerir ketidaknyamanan akibat ketidakpastian kapan pandemi ini berhenti. Ketidakcocokan antara prediksi dan apa yang sebenarnya terjadi menciptakan momen ketidakpastian. Penelitian bidang neurosains yang dilakukan oleh de Berker et al. (2016) menunjukkan bahwa ketidakpastian bahkan lebih membuat stres daripada mengetahui bahwa sesuatu yang buruk pasti terjadi di masa depan. Ini menyebabkan mengapa kita merasa lebih tenang dalam mengantisipasi rasa sakit untuk sesuatu yang kita ketahui konsekuensinya daripada mengantisipasi ketidakpastian.

Hal ini tidak terlepas dari proses neurofisiologis manusia. Otak manusia akan terus-menerus membuat dan memperbarui serangkaian aturan yang dapat memprediksi cara kerja dunia yang kita tinggali ini. Penelitian Kim et al. (2017) menyebutkan bagian otak yang berperan dalam menyikapi ketidakpastian adalah striatum yaitu area otak yang terkait dengan gangguan kecemasan atau general anxiety disorder. Sistem kerjanya juga dipengaruhi oleh dopamine yang pada gilirannya akan mengaktifkan sistem respon fight or flight, menghadapi atau lari dari ketidakpastian yang diasumsikan sebagai ancaman. Kondisi COVID-19 ini seolah membuat kita menekan tombol otak yang sama yaitu mode flight daripada fight karena sifat dari pandemi ini adalah tiba-tiba, tidak dikenal, di luar kendali, dan berpotensi mematikan. Tidak mengherankan bahwa banyak dari kita merasa cemas dan membiarkan respons dari rasa takut itu memandu beberapa keputusan kita.

Apa yang kebanyakan orang tidak sadari adalah betapa kuatnya sekumpulan respon otomatis yang sudah tertanam pada otak dan memengaruhi kita, terutama selama krisis seperti yang terjadi sekarang. Jika sebuah ancaman sudah bisa dipelajari atau diprediksi, maka hal ini akan menurunkan kecemasan karena otak mampu memelajari cara kerjanya dan membuat kita lebih tenang. Kemudian, penilaian personal terhadap ancaman virus, kontrol diri, dan penggunaan coping yang berfokus pada emosi menjadi hal yang berpengaruh terhadap kondisi psikologis seseorang. Sehingga banyak sekali cara-cara coping psikologis yang bisa menjadi alternatif untuk mengatasi rasa cemas, bosan, dan takut.

Wujud respon seseorang dalam menghadapi pandemi ini sangat beragam. Namun, siklus responnya bisa terbagi dalam beberapa tahapan. Tahap pertama adalah kondisi ketika seseorang merasa ketakutan karena merasa tidak cukup informasi mengenai apa dan mengapa sesuatu terjadi. Ketakutan-ketakutan ini kemudian membawa seseorang pada tahapan selanjutnya yaitu mencari informasi sebanyak-banyaknya terkait pandemi dan perkembangannya. Ribuan informasi bertebaran tiap harinya, mulai dari data kasus kematian dan penambahan pasien, kebijakan penanganan dari pemerintah, munculnya teori-teori konspirasi, stereotip terhadap orang Cina hingga isu rasisme. Semua jenis rumor tentang sebab-akibat dan penanganan wabah muncul dan berputar-putar, periode tersebut disertai dengan kepanikan dan kecemasan. Akibat dari rasa takut tersebut, seringkali orang salah membaca informasi. Kepanikan bahwa mereka sendiri rentan terhadap virus juga mulai menyerang. Manifestasi lebih lanjut, kepanikan dan kegelisahan ini cenderung berkembang menjadi kemarahan disertai dengan rasa kehilangan kepercayaan pada pemerintah. Hal ini terkait dengan kurangnya informasi dan transparansi, informasi yang menyesatkan, atau tidak efektifnya tindakan yang diambil. Bahkan meskipun beberapa orang merasa bahwa pemerintah telah berusaha semaksimal mungkin, mereka yang masih belum merasa puas dapat membandingkan kinerja pemerintah dengan kebijakan pemerintah negara lain menanggapi situasi pandemi ini.

Aturan dengan tagar #stayathome kemudian menjadi perilaku yang harus dibiasakan meskipun pasti akan ada konsekuensinya karena tidak semua orang memiliki keadaan finansial hingga keharmonisan keluarga yang sama. Tidak dipungkiri bahwa pengaturan seperti itu dapat menciptakan ketegangan dan meningkatkan kemungkinan kekerasan dalam rumah tangga, penyalahgunaan alkohol dan narkoba hingga perjudian online. Isolasi juga dapat memengaruhi individu yang rentan untuk merasa kesepian dan merasa ditinggalkan. Waktu luang dalam mengatasi kejenuhan kemudian digunakan untuk mengakses media sosial, padahal riset-riset yang ada menyebutkan hasil bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan menyebabkan pelbagai masalah psikologis. Menjadi bingung bukan dalam memilih cara yang tepat untuk mengatasi kejenuhan? Bermacam alasan ini kemudian ditambah dengan adanya krisis ekonomi yang tidak terelakkan, mau tak mau mendorong agar kebijakan baru harus segera dilakukan seperti mulai mendesak untuk membuat dan menggodok protokol tatanan kehidupan baru atau #newnormal. Namun, bagaimana pun langkah ini harus tetap harus teliti dan tidak boleh asal. Pendapat para peneliti, ahli dari semua sektor (kesehatan, ekonomi, pendidikan, agama, dan lainnya), dan stakeholder lainnya harus didengarkan agar pemerintah tidak memilih pilihan yang risikonya amat besar karena lagi-lagi yang paling terkena dampaknya adalah masyarakat.

Sebagai masyarakat awam, kita tahu bahwa kecemasan, kepanikan, dan kemarahan berjalan beriringan. Tahap ini selanjutnya akan memberi jalan untuk menerima apa yang sedang terjadi dan mengarahkan kita pada sebuah resolusi. Proses-proses ini sangat wajar untuk kita rasakan dan tidak ada cara yang lebih baik bagi diri untuk menjadi adaptif serta inovatif dengan kondisi saat ini dan berusaha mengontrol apa yang kita pikirkan dan rasakan. Agar hal ini terjadi, otak kita harus membebaskan diri dari cara berpikir lama dan menjadi agile atau lincah untuk beradaptasi, belajar, dan memahami. 

Comments

Popular Posts

Authorship dan Etika Kontribusi: Sebuah Refleksi Pribadi dari Mahasiswa Doktoral

Tahun Ketiga PhD: Antara Tidak Terasa dan Terasa Banget

Dari Mean ke Multilevel SEM: Sebuah Perjalanan Pendewasaan Berpikir Ilmiah