REDIRECTION: When Your PhD Advisor Moves, and You Have to Reroute Mid-Flight

Earning a Ph.D. takes years and comes with a long list of challenges—alias, selalu ada aja ujiannya. Tapi kok di sosmed, kelihatannya hidup PhD ini hepi-hepi aja, sambil jalan-jalan pula?

Well, a little clarification (dah kek macam artis, ya đŸ˜„):

It’s summer break—so yes, jadi emang bisa ambil waktu buat liburan. 

Social media only shows a fraction of the chaos. Behind those happy photos are spreadsheets, messy drafts, and existential crises. 

Mungkin karena tambah umur juga, jadi makin resilien. Tentu aja ada hari-hari di mana aku ngerasa overwhelmed, cemas, atau ngerasa nggak baik-baik aja. Tapi somehow, bisa bangkit sedikit lebih cepat.

Tanggal 25 Mei lalu, pas lagi di Boston, aku dapat email dari advisorku. Beliau ngasih kabar bahwa akan pindah ke universitas lain.

Jujur, tubuhku langsung lemes. Nggak bisa mikir apa-apa.
Selama seminggu pertama, aku denial: “Masa sih ini beneran terjadi?”

Aku milih departemen dan universitas ini karena pengen kerja bareng beliau—bahkan setelah dapat LoA dari tiga universitas lain. Beliau bukan hanya inspiratif secara intelektual, tapi juga supportive. Dan tentu saja, aku merasa sangat beruntung bisa jadi bagian dari Geier Lab for Developmental Cognitive Neuroscience—lab yang penuh dengan anggota-anggota keren! Jadi ya, ini berat. Bukan cuma buatku, tapi buat semua anggota lab juga.

“Terus, gimana dengan timeline PhD-ku? Gimana dengan rencana ambil ujian kualifikasi semester depan?”

Setelah beberapa hari duduk dalam ketidakpastian, aku mulai menyusun rencana darurat. Plan A, B, dan C. Aku mulai cek profil dosen lain yang topik risetnya masih sejalan. Konsultasi ke pembimbing Fulbright, academic coordinator, teman seangkatan, dan labmates.

Dan akhirnya aku ketemu satu kandidat advisor baru. Kami ketemu via Zoom, dan aku bersyukur banget karena sambutannya hangat dan terbuka. Kami diskusi soal potensi proyek penelitian bareng, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, aku ngerasa... optimis.

Awalnya kupikir tahun ini aku bisa lepas dari fase adaptasi dan mulai fokus bikin proposal disertasi. Tapi ternyata, Tuhan punya rencana lain.

Sekarang aku belajar adaptasi lagi—dengan gaya membimbing yang baru, lingkungan lab baru, dan ritme riset yang (mungkin) sedikit berbeda. Nggak gampang. Dan jujur aja, aku nggak selalu kuat.

Tapi aku milih buat terus jalan. Soalnya, ngeluh terus juga capek, kan? đŸ˜…

Yang penting: tetap bergerak, sekecil apa pun langkahnya.

So here’s to unexpected turns, finding strength mid-chaos, and trusting that somehow, this is all part of the story I’m meant to tell.




Grateful to be part of the Geier Lab for Developmental Cognitive Neuroscience—a place where I learned and grew alongside an incredible advisor and amazing labmates. Yes, transitions are never easy, but these memories will always be a meaningful part of my PhD journey.

Comments

Popular Posts

Authorship dan Etika Kontribusi: Sebuah Refleksi Pribadi dari Mahasiswa Doktoral

Tahun Ketiga PhD: Antara Tidak Terasa dan Terasa Banget

Dari Mean ke Multilevel SEM: Sebuah Perjalanan Pendewasaan Berpikir Ilmiah