Pergi by Avianti Armand
Bulan ketiga di musim penghujan. Catatan di kalender
menunjukkan—ia telah pergi terlalu lama. Tanggal-tanggal yang bersilang merah. Sebenarnya,
tanpa itu pun telingaku telah tahu. Beberapa kali belakangan ini aku mulai
sering mendengar bunyi kunci pintu depan diputar. Selalu selepas tengah malam. Tapi
tak ada yang datang. Bahkan tak ada pintu yang membuka. Cuma malam yang lewat
seperti biasa. Senyap.
Sebentar lagi tahun ini akan habis. Kalender yang merekam
jejaknya terpaksa harus kuganti dengan yang baru. Mungkin kain sofa yang telah
lusuh itu juga. Dan kap lampu berenda yang membungkuk di meja sudut. Barang itu
terlalu out of date untuk gaya
interior minimalis yang sedang jadi tren. Kursi rotan tua yang telah lepas ikatannya
itu tampaknya juga mesti kurelakan. Sepertinya memang banyak yang harus
kulepas. Cermin kuningan di dinding. Karpet persia palsu buatan Cina. Menagerie gelas warisan ibu. Tapi,
rasanya, tidak bingkai-bingkai di atas piano. Foto-foto lama. Dia dan aku. Tanpa
bisa kubendung, arus sungai menggeret masa lalu ke depan pintu.
Selalu dia dan aku. Aku dan dia. Ada saja orang yang bisa
dimintai tolong untuk memotret dia dan aku. Aku dan dia. Berciuman .
Berpelukan. Berpegangan tangan. Tertawa. Nyengir kuda. Melotot kaget. Juga cemberut
monyong di depan bioskop. Aku ingat, waktu itu dia marah karena aku terlambat
membeli tiket nonton film-lupa judulnya-di malam minggu. Acara nonton di ganti
dengan saling diam di teras rumah. Bukan, bukan saling. Dia diam, sementara
akau terus berusaha memecah bisunya yang sekeras batu. Sampai akhirnya aku menyerah
dan pergi karena lelah. Malam itu aku terpaksa tidur di hotel murah. Ah , dia
memang sering marah karena hal-hal sepele.
Seperti ketika aku salah membelikan soto untuknya. “Kudus! Bukan
Lamongan!” Aku, yang sulit mengingat nama-nama tempat, Cuma bisa berdalih
lemah, “Sama-sama di Jawa kan?” Dia makin marah. “ Yang satu Jawa Tengah, yang
lain di Jawa Timur!” amuknya. “Lagian
sotonya juga beda, tauk!” Lalu ia
membanting pintu kamar, tak jadi makan malam, dan tak keluar lagi sampai keesokan
hari. Soto dan aku sama-sama tak laku. Tapi kali itu aku tak tidur di hotel
murah. Cuma disofa ruang duduk berselimutkan handuk.
Masih banyak malam-malam lain yang kuhabiskan dengan sofa
dan handuk. Selalu dengan alasan-alasan yang sederhana: aku telat menjemputnya
di kantor, aku alpa mengambil laundry, salah
meletakkan remote tivi, salah
memencet nomer telepon, terlalu banyak menaburkan lada hitam di atas steaknya, terlalu geli tertawa, atau
terlalu keras menyanyi di kamar mandi. Ia seperti punya seribu dua alasan untuk
marah. Aku tak punya satu pun. Terlalu cinta? Ia akan dengan segera bilang, “Gombal!”.
Tapi, di hari ia pergi, ia tak marah. Juga tak mengatakan
sepatah kata pun. Ia cuma membawa segalanya dan meninggalkan dencing kunci
pintu depan yang saling beradu di tas meja. Di hari ia pergi, aku tak menangis.
Tak bisa. Mungkin karena sesungguhnya, tanpa pernah mau kuakui aku tahu—ia telah
lama pergi.
--Avianti armand
Comments
Post a Comment
I don't hate comments :)