Fantastic Beasts and Where to Find Them: The Adventures of Newt Scamander in 1926 New York City


Yuhuuu, be ready because Fantastic Beasts is now playing at your favorite theaters!
Fantastic Beasts and Where to Find Them was produced by David Heyman, who is also the producer of the eight Harry Potter movies before. This movie starred by Eddie Redmayne, Katherine Waterston, Alison Sudol, Ezra Miller, Dan Fogler, Colin Farrell, Jenn Murray, Jon Voight, Carmen Ejogo, Gemma Chan, Faith Wood-Blagrove aaanddd Johnny Depp was joining the sequel as Gellert Grindelwald.
As fans of the Harry Potter books will remember, Grindelwald was considered to be one of the most dangerous dark wizards of all time, stealing the Elder Wand and creating a murderous army before being defeated by Albus Dumbledore in a duel in 1945 and imprisoned in his own fortress. Grindelwald was killed by Voldemort in 1998 after refusing to give up information on the Elder Wand.

Fantastic Beasts tells about Newt Scamander (Redmayne), a magizoologist which famous in the wizarding world. Eccentric magizoologist Newt Scamander comes to New York with his trusty weathered case. This case is one of those way-way-way-bigger-on-the-inside magical devices, and within are expansive habitats for a collection of rare and endangered magical creatures from Newt’s travels around the globe. He discovers the American wizarding community is fearfully hiding from Muggles (who are called “No-Maj” in the States) and the threat of public exposure is an even graver concern than in the UK (remember the Salem witch trials?). Fantastic Beasts is the story of what happens when this uniquely skilled English wizard travels to wiz-phobic America and a variety of his creatures, some quite dangerous.
The players may be different but the magic of J.K. Rowling's wizarding world remains the same.
So, go get your ticket and enjoy the show :D Happy watching!

Comments

Post a Comment

I don't hate comments :)

Popular Posts

Authorship dan Etika Kontribusi: Sebuah Refleksi Pribadi dari Mahasiswa Doktoral

Image
Baru-baru ini aku sedang menyusun sebuah draft opinion paper yang bersumber dari esai ujian komprehensifku yang mana proses penyusunannya dilakukan berbulan-bulan. Paper ini mendapat respons positif dari pembimbing dan komite doktoralku, sehingga mereka menyarankan agar segera aku submit ke jurnal ilmiah. Ketika diskusi soal pengiriman paper ini berlangsung, advisorku bertanya: “Apakah semua anggota komite mau dicantumkan sebagai co-author ? Tanyakan dulu, karena tidak semua merasa nyaman namanya muncul jika merasa kontribusinya tidak signifikan.” Kemudian beliau menjelaskan bahwa menurut APA Publishing Policies , konsep authorship mengikuti prinsip contributorship . Ini artinya, authorship bukan hanya untuk mereka yang menulis, tetapi juga bagi siapa pun yang memberi kontribusi ilmiah substansial, seperti: Konseptualisasi ide dan tujuan penelitian, Mendesain metodologi atau pendekatan penelitian, Melakukan analisis formal yang signifikan, Berpartisipasi aktif dalam pen...
Read more

Tahun Ketiga PhD: Antara Tidak Terasa dan Terasa Banget

Image
Tidak terasa (eh, kadang terasa juga ding 😅) perjalananku sebagai mahasiswa PhD kini resmi genap tiga tahun. Aku menutup tahun ini dengan menyelesaikan doctoral exam tahap dua (dari total tiga tahap di programku). Ujian ini tidak main-main. Untuk bisa menyusun jawabannya, aku harus membaca minimal 100 artikel ilmiah, baik jurnal maupun buku, yang menjadi dasar teoritis dan metodologis topik disertasiku. Bukan karena apa, tapi itu syaratnya. Kalau tahap pertama namanya Qualifying Exam/Exam Candidacy untuk menilai apakah kita layak menjadi PhD Candidate atau tidak. Tapi ini akan berbeda ya ntah penamaan ujiannya dan juga proses ada berapa tahapan yang harus dilalui (jadi wajib hukumnya kamu baca handbook program yang mau dipilih). Sedikit gambaran, program PhD di Amerika Serikat itu cukup berbeda dari banyak negara lain seperti Indonesia, Jepang, Belanda, atau Inggris. Di sini, mahasiswa PhD wajib menjalani kuliah di kelas ( coursework ) selama dua tahun pertama, bukan langsung ris...
Read more

Dari Mean ke Multilevel SEM: Sebuah Perjalanan Pendewasaan Berpikir Ilmiah

Image
Dulu, ketika aku pertama kali belajar statistik dan analisis data, pendekatan yang kupahami masih sangat tradisional. Misalnya, jika aku ingin mengetahui apakah stres berkaitan dengan fungsi kognitif, maka aku cukup menghitung rata-rata (mean) skor stres dan kognisi setiap orang, lalu yaudah, ambil dua variabel, cari korelasinya. Kalau ada grup berbeda? Pake ANOVA. Mau prediksi? Linear regression. Simple. Logis. Rasanya cukup buat "menjelaskan hubungan antar variabel". Tapi ternyata, makin banyak belajar, makin kerasa: dunia ini lebih kompleks daripada sekadar rata-rata. Dan hasil penelitian bisa misleading kalau kita cuma ngandelin between-person analysis atau data yang dirata-ratain aja. Apalagi kalau kita bicara soal perasaan , kognisi , dan perilaku sehari-hari —nggak sesederhana itu. Makin aku mendalami metode kuantitatif, makin sadar bahwa mean-level analysis atau between-person comparisons itu nggak cukup buat memahami bagaimana proses psikologis bekerja " da...
Read more